Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Ekonom yang Visioner dan Berprinsip

Historia, Nasional55 Dilihat

INDONESIA – Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo adalah seorang ekonom dan tokoh politik penting yang memiliki peran besar dalam perjalanan ekonomi dan diplomasi Indonesia. Lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 29 Mei 1917, ia merupakan putra dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, seorang pendiri Bank Negara Indonesia yang juga berperan dalam kemerdekaan Indonesia. Pendidikan menengah Sumitro yang didapat di Belanda, kemudian pendidikan lanjutannya di Universitas Rotterdam memperkenalkan Sumitro pada gagasan ekonomi yang progresif dan menyentuh berbagai aliran pemikiran, seperti sosialisme, yang menguatkan semangat anti-kolonialisme dan keberpihakan pada rakyat kecil.

Sumitro tidak hanya menjadi akademisi unggul, karena ia juga berperan penting dalam pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) dan memperkenalkan program-program strategis dalam pembangunan ekonomi. Program Benteng yang digagasnya, bertujuan memberi peluang pada pengusaha pribumi di tengah dominasi perusahaan asing, menjadi salah satu langkah revolusioner dalam ekonomi nasional. Sumitro juga mendukung nasionalisasi De Javasche Bank dan mendorong masuknya investasi asing yang akhirnya membentuk cikal bakal kebijakan ekonomi Indonesia dimasa mendatang.

Dikancah internasional, Sumitro turut membawa suara perjuangan kemerdekaan Indonesia ke mata dunia. Perannya sebagai diplomat pada pertemuan PBB dan Konferensi Meja Bundar (KMB) tak hanya memperjuangkan pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia, tetapi juga mengkritisi kebijakan kolonial Belanda, yang ia anggap menindas dan tidak adil. Dengan cara yang diplomatis namun tegas, Sumitro memperjuangkan keadilan bagi Indonesia dan menggalang dukungan internasional, khususnya di Amerika Serikat, untuk mendesak Belanda menghentikan tindakan kolonialisme.

Namun, karier Sumitro diwarnai dinamika politik yang kompleks. Sebenarnya sudah sejak lama Sumitro yang memiliki ide serta pandangan yang kritis dan sangat nasionalis, seringkali berseberangan dan berbeda pandangan umum dengan sejumlah politisi lain khususnya dari kalangan PNI dan utamanya Partai Komunis Indonesia saat itu. Penentangan kedua partai ini semakin kuat saat Presiden Soekarno ikut-serta menyerang ide, gagasan serta kebijakan Sumitro semasa pemerintahan PM Juanda. Puncak ketegangan itu terjadi saat sejumlah tekanan serta intervensi aparat mulai menyentuh Sumitro secara pribadi serta anak istrinya.

Pada akhir 1950-an, pada akhirnya memilih berpindah bersama keluarganya ke Sumatera demi pertimbangan keselamatan. Disinilah perannya sebagai seorang akademisi, ekonom serta pemikir bangsa yang kritis semakin tajam dalam melihat perkembangan politik Indonesia kala itu mulai mencium adanya gelagat adanya dominasi dan pengaruh yang kuat dari komunis dalam berbagai pandangan politik Soekarno. Pandangannya inipun ternyata juga sejalan dengan sejumlah tokoh lainnya di Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda dan Dewan Manguni.

Keempat dewan ini memandang Presiden Sukarno sudah dipengaruhi oleh kaum komunis, Presiden Sukarno menjalankan roda pemerintahan di luar wewenang yang diamatkan konstitusi kepadanya. Tidak itu saja, kempat dewan itu memandang bahwa Jakarta tidak adil dalam membangun Indonesia. Pembangunan dan kesejateraan daerah-daerah luar Jawa jauh tertinggal dibandingkan dengan Pulau Jawa, padahal luar Jawa adalah penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia (Katoppo 2000: 206-212; Asnan 2007: 171-197).

Pandangan Dewan Banteng relatif sejalan dengan ide dan gagasan Sumitro. Hal itulah kemudian yang menyebabkan Sumitro bergabung dengan PRRI (dan kemudian juga dengan Permesta). Ketika PRRI diproklamirkan 15 Februari 1958, Sumitro diangkat sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran pada Kabinet PRRI. Bergabungnya Sumitro dengan PRRI adalah salah satu alasan adanya dukungan dari Barat, terutama AS, terhadap PRRI. Sumitro sangat aktif dalam melakukan pendekatan politik kepada AS atau negara-negara Barat lainnya. Di samping itu, tidak bisa pula dipungkiri, dukungan Barat, terutama AS, juga disebabkan oleh wilayah PRRI juga mencakup lokasi perusahaan AS (Caltex), yaitu Riau, serta ideologi PRRI dan Permesta yang anti komunis (Katoppo 2000: 211, 218224; Asnan 2007: 193-196).

Ketika PRRI mengalami kekalahan, Sumitro terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri dan melanjutkan kariernya sebagai konsultan ekonomi sambil terus mengikuti perkembangan di tanah air. Hingga akhirnya, pada era Orde Baru dibawah Presiden Suharto yang lebih ramah terhadap gagasan anti-komunis, Sumitro kembali ke Indonesia dan terus memberikan pengaruh dalam dunia ekonomi dan pendidikan nasional.

Sumitro Djojohadikusumo adalah salah satu tokoh yang tak pernah absen dalam perjuangan membangun bangsa. Melalui perannya sebagai ekonom, diplomat, dan akademisi, ia membuktikan dedikasinya untuk membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri dan bermartabat. Warisan pemikirannya dalam ekonomi dan kebijakan pembangunan masih terasa hingga kini, menginspirasi generasi muda untuk memajukan bangsa dengan semangat yang sama. (Disadur dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia: esi.kemdibbud.go.id )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *